PENGERTIAN MUNASABAH, Macam Macam Munasabah
A. PENGERTIAN MUNASABAH
Secara etimologis, munasabah berarti
al-musykalah dan al-muqarabah yang berarti “saling menyerupai” dan “saling
mendekati”. Secara terminologis, munasabah berarti adanya keserupaan dan
kedekatan diantara berbagai ayat, surat dan kalimat yang mengakibatkan adanya
hubungan. Hubungan tersebut bisa berbentuk keterkaitan makna ayat-ayat dan
macam-macam hubungan atau keniscayaan adalah pikiran, seperti hubungan sebab
dan musabab, hubungan kesetaraan dan hubungan perlawanan, munasabah juga dapat
dalam bentuk penguatan, penafsiran dan penggantian.
Adapun
pengertian munasabah yang lain adalah pengertian yang dikemukakan oleh para
imam yaitu: Adapun menurut pengertian terminologi, munasabah dapat
didefinisikan sebagai berikut:
Ø
Menurut az-zarkasyi, munasabah
adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala di hadapkan pada akal, pasti akal
itu akan menerimanya.
Ø
Menurut Manna’ al-Qaththan,
munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam suatu ayat,
atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surat di dalam al-Qur’an.[1][1]
Ø
Menurut Ibnu al-Arabi, munasabah
keterikatan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan
yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Selain
itu, menurut Manna’ al-Qaththan munasabah adalah sisi keterikatan antara
beberapa ungkapan di dalam suatu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau
antar surat dalam al-Qur’an. M. Quraisy Shihab memberi pengertian munasabah
sebagai kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam
al-Qur’an, baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu ayat
dengan yang lainnya. Al-Biqa’i menjelaskan bahwa ilmu munasabah al-Qur’an
adalah suatu ilmu yang mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan susunan atau urutan-urutan
bagian al-Qur’an, baik ayat dengan ayat ataupun surat dengan surat. Dengan
demikian pembahasan munasabah adalah berkisar pada segala macam hubungan yang
ada : seperti hubungan umum atau khusus, rasional dan sensual atau imajinatif,
kausalitas, ‘illat dan ma’lul, kontradiksi dan sebagainya.
Timbulnya ilmu munasabah ini tampaknya
bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surat demi surat
al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam mushaf sekarang (Mushaf Usmani atau
Mushaf Imam), tidak didasarkan fakta kronologis. Kroologis turunnya ayat-ayat
atau surat-surat al-Qur’an tidak diawali dengan Q. S al-Fatihah, tetapi diawali
dengan lima ayat pertama dari Q. S al-‘Alaq. Surat yang kedua turun adalah Q. S
al-Muddatsir. Sementara surat kedua dalam mushaf yang digunakan sekarang adalah
Q. S al-Baqoroh.
B. MACAM-MACAM MUNASABAH
Berdasarkan kepada beberapa pengertian
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah al-Qur’an
mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat. Macam-macam
hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1.
Munasabah antara surat dengan surat.
2.
Munasabah antara nama surat dengan
kandungan isinya.
3.
Munasabah antara kalimat dalam satu
ayat.
4.
Munasabah antara ayat dengan ayat
dalam satu surat.
5.
Munasabah antara ayat dengan isi
ayat itu sendiri.
6.
Munasabah antara uraian surat dengan
akhir uraian surat.
7.
Munasabah antara akhir surat dengan
awal surat berikutnya.
8.
Munasabah antara ayat tentang satu
tema.
Dalam
upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan
di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1.
Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian
hubungan atau mnasabah antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan
yang erat dari suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang
tercermin pada masing-masing surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema.
Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat lainnya menguraikan
sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun parsial. Salah satu
contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada
tiga surat beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S al-Baqarah (2), dan Q. S al-Imran (3).
Satu
surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah
/ 1 : 6 disebutkan :
إهدنا الصراط المستقيم (6)
Artinya
: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu
dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti
petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين(
2)
Artinya
: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa” (Q. S al-Baqarah / 2 : 2)
2. Munasabah Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung
pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu
surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya
ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surat
dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan antara nama surat
dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a.
Nama diambil dari urgensi isi serta
kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena
urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b. Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa, kisah atau peran
yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam
perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat
disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan
sebagainya.
c.
Nama sebagai cerminan isi pokoknya,
misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam
serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan
sebagainya.
d. Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi
ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh al-Hajj (dengan spesifik
tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah
tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah irrig keharmonisan rumah
tangga.
e.
Nama diambil dari huruf-huruf
tertentu yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian
khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya :
Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.
3.
Munasabah Antara Satu Kalimat dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya
dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung
antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat
akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan
irri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan tafsir / i’tiradh
(interfretasi /penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
"فإن لم تفعلوا", diikuti "ولن
تفعلوا" (Q.S al-Baqarah / 2:24).
Contoh tafsir:
سبحان
الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسد الأقصى
Kemudian diikuti dengan (1:17/الإسراء) الذي باركنا حوله
لنريه من اياتنا
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan
tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’
dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a.
Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk
rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan
fashilah. Salah satu contoh :
ولإن سألتهم من خلق السماوات
والأرض___ليقولون الله___قل الحمد لله (لقمن 25)
b. Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut).
Contoh :
يسألونك عن الأهله___قل هي___ (البقره
189)
c.
Munasabah berbentuk nazhir / matsil
(hubungan sebanding) atau mudhaddah / ta’kis (hubungan kontradiksi). Contoh :
ليس البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرك
والمغرب___ولكن البر___(البقرة 177)
4.
Munasabah Antara Ayat dengan Ayat
dalam Satu Surat
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa
ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surat tersebar
sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib
dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang
sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S al-Baqarah : 1
– 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta
kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq,
dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد
افلح المؤمنون
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman”.
Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه
لا يفلح الكافرون
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak
beruntung”.
5.
Munasabah Antara Penutup Ayat dengan
Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat
bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan sandaran
isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal
(tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم
خلقنا النطفة علقة bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua
ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).
6.
Munasabah Antara Awal Uraian Surat
dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya
keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir
uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga
al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan kepada
orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh
respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat
adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi
Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW yang
menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh
Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh kemenangan.
7.
Munasabah Antara Penutup Suatu Surat
dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح
باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :
سبح
الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم
“Semua yang berada di langit dan di bumi
bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.
8.
Munasabah Antar Ayat dengan Satu
Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i dan
al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam
membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi
Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah
al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil
oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema
qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang
saling bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :
الرجال
قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.
Dan Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :
يرفع
الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون خبير.
Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala
al-nisa’) erat sekali kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan
faktor ekonomi. Q. S an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa fadhdhala” dan
“al-ilm”. Antara “bimaa fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan
keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui
petunjuk Nabi (tauqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara
berbagai hal dalam kitab al-Qur’an.
C. URGENSI
DAN MANFAAT MEMPELAJARI MUNASABAH
Mengenai
hubungan antara suatu ayat / surat dengan ayat / surat lain (sebelum / sesudahnya),
tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab
mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat itu dapat pula membantu
kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan. Ilmu
al-Qur’an mengenai masalah ini disebut :
Ilmu
ini dapat berpesan mengganti Ilmu Asbabun Nuzul, apabila kita tidak dapat
mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui adanya
relevansi ayat itu dengan ayat lainnya. Sehingga di kalangan ulama timbul
masalah : mana yang didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan
mengetahui hubungan antara ayat itu dengan ayat lain. Seorang ulama bernama
Burhanuddin al-Biqa’i menyusun kitab yang sangat berharga dalam ilmu ini, yang
diberi nama :
Ada
beberapa pendapat di kalangan ulama tentang : Ada yang berpendapat, bahwa
setiap / surat selalu ada relevansinya dengan ayat / surat lain. Adapula yang
berpendapat, bahwa itu tidak selalu ada hanya memang sebagian besar ayat-ayat
dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Di samping itu, ada yang
berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain,
tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lain.
Segolongan
dari antara para ulama Islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-ayat al-Qur’an
itu satu dengan yang lain tidak ada hubungannya. Tetapi segolongan dari antara
para ulama Islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu satu
dengan yang lain ada hubungannya.
Golongan
yang pertama beralasan : oleh karena ayat-ayat al-Qur’an itu di dalam
surat-suratnya tidak dijadikan berbab-bab dan berpasal-pasal dan pada nampaknya
memang tidak teratur, bahkan kadang didapati satu ayat yang berisi perintah
dengan satu ayat lain yang berisi larangan, yang di antaranya sudah diselingi ayat
lain yang berisi qisshah, maka tidak mungkin jadi ayat-ayat itu satu dengan
yang lain ada hubungannya. Selanjutnya dikatakan pula oleh mereka : “Bahwa
perbuatan orang yang memperhubungkan suatu ayat dengan ayat yang lain itu,
adalah suatu perbuatan yang memberatkan diri sendiri”.
Golongan
yang kedua beralasan : oleh karena letak tiap-tiap ayat dan surat al-Qur’an itu
dari sejak diturunkan sudah diatur dan ditertibkan oleh Allah SWT dan Nabi SAW,
tinggal memerintahkan kepada para penulisnya pada waktu ayat-ayat itu
diturunkan tentang letak dan tempatnya tiap-tiap ayat dan surat, maka sudah
barang tentu pimpinan yang sedemikian itu mengandung arti, bahwa tiap-tiap ayat
di dalam al-Qur’an itu satu dengan lainnya ada hubungannya.selanjutnya oleh
mereka dikatakan : “Bahwa sekalipun pada lahirnya ayat-ayat al-Qur’an itu tidak
teratur dan tidak tersusun, tetapi dalam hakikatnya sangat teratur dan tersusun
rapi”.
Kriteria
/ ukuran untuk menetapkan ada / tidaknya munasabah (relevansi) antara ayat-ayat
dan antara surat-surat adalah tamatsul dan tasyabuh (persamaan / persesuaian)
antara maudhu’-maudhu’nya. Maka apabila ayat-ayat / surat-surat itu mengenai
hal-hal yang ada kesamaan / kesatuan yang berhubungan ayat-ayat permulaannya
dengan ayat-ayat penghabisannya maka terdapatlah munasabah / relevansi antara
antara ayat-ayat atau surat-surat secara logis dan dapat diterima. Dan apabila
mengenai ayat-ayat / surat-surat yang berbeda-beda sebab turunnya dan tentang
hal-hal yang tidak sama atau serupa, maka sudah tentu tidak ada munasabah /
relevansi antara ayat-ayat / surat-surat itu.
Dengan kriteria tersebut, maka dapat dibayangkan bahwa letak
/ titik persesuaian (munasabah / relevansi)antara ayat-ayat dan antara
surat-surat itu kadang-kadang tampak jelas dan kadang-kadang tidak tampak, dan
bahwa jelasnya letak munasabah antara ayat-ayat itu sedikit kemungkinannya,
sebaliknya terlihatnya dengan jelas letak munasabah antara surat-surat itu
jarang sekali kemungkinannya. Dan hal ini disebabkan karena pembicaraan
mengenai suatu hal jarang bisa sempurna hanya dengan satu ayat saja. Karena itu
berturut-turut beberapa ayat mengenai satu maudhu’ untuk mengutarakan dan
menerangka تو كيد ا و تفسيراatau untuk menghubungkan dan memberi
penjelasan عطفا و بيا نا atau untuk
mengecualikan dan mengkhususkan ا ستثناء و حصرا atau untuk menengahi dan mengakhiri pembicaraan اعتراضا و تذ بيلا sehingga ayat-ayat yang beriring-iringan
itu merupakan satu kelompok ayat yang sebanding dan serupa.
Kedua
pendapat itu baiknya kita pikirkan bersama, karena keduanya adalah dari buah
pikiran mereka masing-masing. Hanya kami berpendapat dan berpendirian, bahwa
kemungkinan besar ayat-ayat yang tertulis di dalam tiap-tiap surat al-Qur’an
itu ada hubungannya satu dengan yang lain.

Komentar
Posting Komentar